BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Allah
menciptakan manusia dan memberi akal kepadanya tidak lain adalah agar manusia
berfikir terhadap berbagai kejadian atau fenomena yang terjadi di muka bumi ini
sehingga manusia mengenal berbagai macam tanda kebesaran-Nya. Allah SWT
menciptakan fitrah yang bersih dan mulia itu lalu melengkapinya dengan bakat
dan sarana pemahaman yang baik yang memungkinkan manusia mengetahui
kenyataan-kenyataan besar di alam raya ini. Fitrah manusia mukmin mengarah ke alam
raya untuk mengungkap rahasia dan tujuan penciptaannya serta berakhir dengan
memahami posisi dirinya di alam raya ini dan menentukan bagaimana ia harus
berbuat dan bersikap di dalamnya. Ilmu yang diperoleh manusia semestinya dapat
membuahkan penanaman akidah dan pendalaman keimanan yang tulus kepada Allah.
Jika terjadi
lompatan kemajuan ilmu dan teknologi melalui penelitian terhadap gejala-gejala
alam dan kehidupan, sebenarnya sangat mengherankan kalau orang-orang yang lalai
itu hanya berhenti pada batas studi yang bersifat mekanis dan tidak menyeberang
untuk menemukan rahasia-rahasia hukum Tuhan serta memahami hikmah di balik
ciptaan-Nya. Orang yang melihat langit hanya dari warna yang biru,
atau bumi dari tanahnya, ia tidak ubahnya hewan, bahkan lebih rendah dan lebih
sesat.
Sebagai makhluk
yang diberi akal dan pikiran, manusia dituntut untuk berpikir serta menggali
ilmu karena Islam sendiri telah mewajibkan untuk menuntut ilmu pengetahuan.
Berbicara tentang Ilmu Pengetahuan dalam hubungannya dengan Al-Qur’an, ada
persepsi bahwa Al-Qur’an itu adalah kitab Ilmu Pengetahuan. Sekarang ini, di
saat semua teknologi sudah canggih, dunia membuktikan dengan banyaknya
temuan-temuan terkini yang ternyata semuanya sudah terdapat dalam Al-Qur’an.
Penafsiran
Al-Quran sendiri seolah tidak pernah selesai, karena setiap saat bisa muncul
sesuatu yang baru, sehingga Al-Quran terasa selalu segar karena dapat mengikuti
perkembangan zaman. Pada kesempatan ini penulis hendak sedikit mengulas tentang
ayat-ayat Al-Quran tentang ilmu pengetahuan beserta tafsir dan analisisnya.
Semoga apa yang penulis tulis dalam makalah ini sedikit membantu pembaca dalam
memperoleh khazanah-khazanah keislaman yang baru.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas
penulis menarik beberapa poin rumusan
masalah untuk dijadikan pembahasan dalam makalah ini yaitu :
1.
Apa definisi ilmu pengetahuan dalam
islam ?
2.
Bagaimana kedudukan ilmu pengetahuan
dalam islam ?
3.
Apa ayat dan hadist tentang ilmu
pengetahuan ?
C.
Tujuan
Penulis
Adapun
tujuan penulisan makalah ini sebagai berikut :
1.
Mengetahui definisi ilmu pengetahuan dalam islam.
2.
Memahami kedudukan ilmu pengetahuan dalam islam.
3.
Mengetahui dan memahami ayat dan hadits tentang ilmu pengetahuan.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Ilmu Pengetahuan
dalam Islam
Ilmu adalah
pengetahuan manusia mengenai segala hal yang dapat diindera oleh potensi
manusia (penglihatan, pendengaran, perasaan dan keyakinan) melalui akal atau
proses berfikir (logika). Ini adalah konsep umum (barat) yang disebut
(knowledge). Pengetahuan yang telah dirumuskan secara sistematis merupakan
formula yang disebut ilmu pengetahuan (science). Dalam Al-Qur’an,
keduanya disebut (ilmu). Para sarjana muslim berpandangan bahwa yang dimaksud
ilmu itu tidak terbatas pada pengetahuan (knowledge) dan ilmu (sience) saja,
melainkan justru diawali oleh ilmu Allah yang dirumuskan dalam lauhil mahfudzh
yang disampaikan kepada kita melalui Al-Qur’an dan As-Sunnah.[1]
Ilmu Allah itu melingkupi ilmu manusia tentang alam
semesta dan manusia sendiri. Bila diikuti jalan fikiran ini, maka dapatlah kita
fahami bahwa Al-Qur’an merupakan sumber pengetahuan manusia (Knowledge dan
science). Dengan membaca dan memahami Al-Qur’an, manusia pada hakekatnya akan
memahami ilmu Allah, yaitu firman-firman-Nya.[2]
Jadi,
berdasarkan fakta-fakta yang ada dan apa-apa yang terkandung dalam al-qur’an,
kita dapat membulatkan pernyataan bahwa ilmu yang dimiliki oleh manusia
dan yang wajib dituntut oleh manusia, semua berporos pada agama. Agama yang
menjunjung tinggi peran akal dalam mengenal hakikat segala sesuatu. Begitu
pentingnya peran akal, sehingga bahkan dikatakan bahwa tak ada agama bagi orang
yang tak berakal, dengan akal yang telah sempurna itulah maka Islam diturunkan
ke alam semesta. Melalui akal, manusia dengan proses berfikir berusaha memahami
berbagai realita yang hadir dalam dirinya, sehinga manusia mampu menemukan
kebenaran sesuatu, membedakan antara haq dan bathil. Sehingga dapat dikatakan
bahwaakal dan kemampuan berpikir yang dimiliki manusia adalah fitrah manusia
yang membedakannya dari makhluk yang lain.
B.
Kedudukan Ilmu Pengetahuan dalam Islam
Sebagai orang
yang rendah pengetahuan keislamannya beranggapan bahwa Al-Qur’an adalah sekedar
kumpulan cerita-cerita kuno yang tidak mempunyai manfaat yang signifikan
terhadap kehidupan modern, apalagi jika dikolerasikan dengan kemajuan IPTEK
saat ini. Al-Qur’an menuntut mereka cukuplah dibaca untuk sekedar mendapatkan
pahala bacaannya, tidak untuk digali kandungan ilmu didalamnya, apalagi untuk
menjawab permasalahan-permasalahan dunia modern dan diterapkan dalam segala
aspek kehidupan, hal itu adalah sesuatu yang nonsense. Anggapan-anggapan di
atas merupakan indikasi bahwa orang tersebut tidak mau berusaha untuk membuka
Al-Qur’an dan menganalisis kandungan ayat-ayatnya. Oleh karenanya maka anggapan
tersebut adalah sangat keliru dan bertolak belakang dengan semangat Al-Qur’an
itu sendiri. Bukti-bukti ini yang menunjukkan sebaliknya misalnya, bahwa wahyu
yang pertama kali diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi-Nya Muhammad SAW adalah
perintah untuk membaca/belajar dan menggunakan akal, bukan perintah untuk
shalat, puasa atau dzikrullah. Demikian tinggi hikmah turunnya ayat ini,
menunjukkan perhatian Islam yang besar terhadap ilmu pengetahuan.[3]
Sejarah menunjukkan, bahwa pada masa kaum muslimin
mempelajari dan melaksanakan agamanya dengan benar, maka mereka memimpin dunia
dengan pakar-pakar yang menguasai dalam disiplin ilmunya
masing-masing, sehingga Barat pun belajar dari mereka. Baru di masa kaum muslimin
meninggalkan ajaran agamanya dan tergiur dengan kenikmatan duniawi dan
berpaling ke barat, maka Allah SWT merendahkan dan menghinakan mereka. Sungguh
telah benar Rasulullah SAW yang telah memperingatkan umatnya dalam hal ini.
Karena kedudukan ilmu yang sedemikian tingginya, maka islam mewajibkan umatnya
untuk memperlajari ilmu.[4]
C.
Ayat
dan hadist tentang Ilmu
Pengetahuan
Surat Al-Alaq (96) ayat 1-5
ٱقۡرَأۡ بِٱسۡمِ رَبِّكَ
ٱلَّذِي خَلَقَ ١ خَلَقَ ٱلۡإِنسَٰنَ مِنۡ عَلَقٍ ٢ ٱقۡرَأۡوَرَبُّكَ ٱلۡأَكۡرَمُ
٣ ٱلَّذِي عَلَّمَ بِٱلۡقَلَمِ ٤ عَلَّمَ ٱلۡإِنسَٰنَ مَا لَمۡ
يَعۡلَمۡ ٥
Artinya :
Bacalah dengan
(menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan (1). Dia telah menciptakan manusia
dari segumpal darah (2). Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah (3). Yang mengajar
(manusia) dengan perantaran kalam (4). Dia mengajar kepada manusia apa yang
tidak diketahuinya (5).
Tafsir Ayat :
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang
menciptakan” (ayat 1). Dari suku kata pertama saja
yaitu “bacalah”, telah terbuka kepentingan pertama dalam perkembangan agama ini
selanjutnya. Nabi Muhammad disuruh untuk membaca wahyu yang akan diturunkan
kepada beliau atas nama Allah, tuhan yang telah menciptakan. Yaitu “Menciptakan
manusia dari segumpal darah” (ayat 2). Yaitu peringkat yang kedua
sesudah nuthfah. Yaitu segumpal air yang telah berpadu dari mani si laki-laki
dengan mani si perempuan yang setelah 40 hari lamanya, air itu akan menjelma
menjadi segumpal darah dan dari segumpal darah itu kelak setelah 40 hari akan
menjadi segumpal daging. “Bacalah, dan tuhanmu itu adalah maha mulia”(ayat
3).
Setelah pada ayat pertama beliau menyuruh membaca dengan nama allah yang
menciptakan manusia dari segumpal darah, diteruskan lagi menyuruh membaca
diatas nama tuhan. Sedang nama tuhan yang selalu akan diambil jadi sandaran
hidup itu ialah Allah yang maha mulia, maha dermawan, maha kasih dan saying
kepada mahluknya. “Dia yang mengajarkan dengan kalam”(ayat 4).
Itulah istimewanya tuhan itu lagi. Itulah kemulianya yang tertinggi. Yaitu
diajarkanya kepada manusia berbagai ilmu, dibukanya berbagai rahasia,
diserahkanya berbagai kunci untuk pembuka perbendaharaan Allah yaitu dengan
qalam. Dengan pena disamping lidah untuk membaca, tuhanpun mentaksirkan pula
bahwa dengan pena ilmu dapat dicatat. Pena itu kaku dan beku serta tidak
hidup namun yang dituliskan oleh pena itu adalah berbagai hal yang dapat
difahami oleh manusia “Mengajari manusia apa-apa yang dia tidak tahu”
(Ayat 5). Terlebih dahulu Allah ta’ala mengajar manusia mempergunakan qalam.
Sesudah dia pandai mempergunakan qalam itu banyaklah ilmu pengetahuan diberikan
oleh allah kepadanya, sehingga dapat pula dicatat ilmu yang baru didapatnya itu
dengan qalam yang sudah ada dalam tanganya.
Analisa :
Berdasarkan
ayat tersebut Rasululallah disuruh untuk membaca agar menjadi orang
yang bisa membaca sebelum tadinya tidak. Betapa pentingnya membaca itu,
bahkan sesungguhnya setiap detik hidup ini adalah membaca.
Tanpa membaca, orang akan kesulitan untuk mempelajari ilmu
pengetahuan. Setiap orang bisa saja membaca objek yang sama. Namun yang
membedakan adalah kualitas pembacaannya. Pada masa jahiliyyah dahulu, kondisi
kehidupan masyarakat didominasi oleh pembacaan yang salah. Membaca yang benar
dalam arti menyeluruh harus menjadi bagian dari hidup seorang muslim. Manusia
dapat baru dapat dimintai pertanggungjawaban setelah mampu membaca dalam arti
luas. Sebab kemampuan membaca adalah tanda berfungsinya akal seseorang. Dikutip
dari sebuah hadits, “Tidak ada agama bagi orang yang tidak berakal”. Kualitas
pembacaan juga ditandai dengan kedalaman atau kejauhan pandangan. Dengan hanya
sedikit indikator atau tanda, seharusnya setiap Muslim mampu membaca jauh
melebihi apa yang dilihatnya.
Dalam
ayat tersebut dapat diketahui perintah Allah SWT kepada manusia untuk menuntut
ilmu, dan dijelaskan pula sarana yang digunakan untuk menuntut ilmu yaitu
kalam. Mencari ilmu adalah sebuah kewajiban bagi umat manusia dan
mengamalkannya juga merupakan ibadah. Semakin tinggi ilmu yang dikuasai,
semakin takut pula kepada Allah SWT sehingga dengan sendirinya akan mendekatkan
diri kepada-Nya. Adapun dalam salah satu hadits yang diriwayatkan oleh Abu Musa
Al-Asy’ari radhiyallahu 'anhu, Rasulullah SAW bersabda:
"Perumpamaan
apa yang aku bawa dari petunjuk dan ilmu adalah seperti air hujan yang banyak
yang menyirami bumi, maka di antara bumi tersebut terdapat tanah yang subur,
menyerap air lalu menumbuhkan rumput dan ilalang yang banyak. Dan di antaranya
terdapat tanah yang kering yang dapat menahan air maka Allah memberikan manfaat
kepada manusia dengannya sehingga mereka bisa minum darinya, mengairi tanaman
dengannya dan bercocok tanam dengan airnya. Dan air hujan itu pun ada juga yang
turun kepada tanah/lembah yang tandus, tidak bisa menahan air dan tidak pula
menumbuhkan rumput-rumputan. Itulah perumpamaan orang yang memahami agama Allah
dan orang yang mengambil manfaat dengan apa yang aku bawa, maka ia mengetahui
dan mengajarkan ilmunya kepada yang lainnya, dan perumpamaan orang yang tidak
perhatian sama sekali dengan ilmu tersebut dan tidak menerima petunjuk Allah
yang aku diutus dengannya." (HR. Al-Bukhariy)
Di dalam
hadits ini terdapat pengarahan dari Nabi SAW agar bersemangat untuk
mencari ilmu, yaitu beliau SAW memberikan perumpamaan terhadap apa
yang beliau bawa, yaitu hujan yang menyeluruh di mana manusia mengambil dan
memanfaatkan air hujan tersebut untuk memenuhi kebutuhan mereka. Kemudian
beliau SAWmenyerupakan orang yang mendengar ilmu dengan bumi/tanah yang
bermacam-macam dimana air hujan (ilmu) turun padanya:
1.
Diantara mereka ada orang yang berilmu, beramal dan
mengajarkan ilmunya kepada yang lainnya, maka orang ini seperti tanah yang
baik, yang menyerap air lalu memberikan manfaat pada dirinya dan menumbuhkan
tanaman dan rumput-rumputan sehingga memberikan manfaat bagi yang lainnya.
2.
Diantara mereka ada yang mengumpulkan ilmu yang dia sibuk
dengannya, di mana ilmu tersebut dimanfaatkan pada masanya dan masa setelahnya
dalam keadaan dia belum bisa mengamalkan sebagian darinya atau belum bisa
memahami apa yang dia kumpulkan, akan tetapi dia sampaikan kepada yang lainnya,
maka orang ini seperti tanah yang menahan air sehingga manusia dapat mengambil
manfaat darinya.
3.
Dan di antara mereka ada orang yang mendengar ilmu tetapi
tidak menghafalnya, tidak beramal dengannya dan tidak pula menyampaikannya
kepada yang lainnya, maka orang ini seperti tanah lumpur atau tanah tandus yang
tidak dapat menerima/menampung air.
Kelompok
pertama dan kedua dalam perumpamaan tersebut kelak akan dikumpulkan menjadi
satu karena kebersamaan mereka dalam memanfaatkan ilmu yang mereka miliki
walaupun derajat kemanfaatannya bertingkat-tingkat. Dan kelompok ketiga yang
tercela akan dipisahkan dari kelompok satu dan dua karena tidak adanya
kemanfaatan darinya. Dan tidak diragukan lagi bahwasanya terdapat perbedaan
yang besar antara orang yang mencari ilmu lalu memberikan manfaat pada dirinya
dan orang lain dengan orang yang rela dengan kebodohan dan hidup dalam
kegelapannya sehingga dia tidak mendapat bagian sedikit pun dari warisannya
para Nabi.
Hadis Tentang Keutamaan Belajar
عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ
سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ. رواه مسلم والترمذى وأحمد والبيهقى
Terjemahan :
Abu
Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Siapa yang menempuh
jalan menuntut ilmu, akan dimudahkan Allah jalan untuknya ke sorga.
Hadist ini telah diteliti dan tel;ah ditelusuri ke dalam
mu’jam alhadits dengan menggunakan potongan lafal عِلْم
setelah ditelusuri diperoleh imformasinya dalam mu’jam jilid 3 halaman 5
sebagai berikut
سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ
Dari imformasi mu’jam tersebut penulis merujuk ke kitab
hadis dan didapatkan imformasi dari kitab sunan addarimi kitab mukadimah hadis
no 24
Penjelasan Hadis Dan Ayat Pendukung
Menurut Ibn Hajar, kata طَرِيْقًا diungkapkan dalam bentuk nakirah (indefinit),
begitu juga dengan kata ilmu yang berarti mencakup semua jalan atau cara
untuk mendapatkan ilmu agama, baik sedikit maupun banyak.
Jadi apabila dikaitkan dengan ayat
yang pertama turun yaitu surat al’alaq, “اقْرَأْ “artinya
baca, jadi untuk mendapatkan ilmu itu harus dengan banyak membaca. Contohnya
allah menciptakan tujuh lapis langit dan tujuh lapis bumi, seluruhnya
mengandung ilmu pengetahuan.
سَهَّلَ
اللَّهُ لَهُ طَرِيقًا (Allah memudahkan baginya jalan)
Yaitu Allah memudahkan baginya jalan di akhirat kelak, atau memudahkan baginya
jalan di dunia dengan cara memberi hidayah kepadanya untuk melakukan perbuatan
yang baik yang dapat menghantarkannya menuju surga. Hal ini mengandung berita
gembira bagi orang yang menuntut ilmu, bahwa Allah memudahkan mereka untuk
mencari dan mendapatkannya, karena menuntut ilmu adalah salah satu jalan menuju
surga.
Dalam hadis
ini, Rasulullah saw. menggunakan pendekatan fungsional. Beliau memberikan
motivasi belajar kepada para sahabat (umat)nya dengan mengemukakan manfaat,
keuntungan dan kemudahan yang akan diperoleh oleh setiap orang yang berusaha
mengikuti proses belajar. Kendatipun beliau tidak menggunakan kata perintah (fi'l
al-amr), namun ungkapan ini dapat dipahami sebagai perintah. Bahkan sering
motivasi dengan ungkapan seperti ini lebih efektif daripada perintah. Siapakah
orang beriman yang tidak ingin mendapatkan kemudahan untuk masuk sorga?
Jawabannya dapat ditebak, tidak ada. Artinya semua orang beriman itu akan ingin
sekali mendapatkan fasilitas ini. Nah, caranya tempuhlah jalan atau ikutilah
proses mencari ilmu dengan ikhlas karena Allah.
Anjuran yang
terdapat dalam hadis ini sejalan dengan pernyataan Allah dalam Alquran. Firman
Allah (QS Fathir/35: 28) yang terjemahannya: Sesungguhnya yang takut kepada
Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha
perkasa lagi Maha Pengampun.
Al-Marâghi
menjelaskan bahwa sesungguhnya yang takut kepada Allah dan bertakwa kepada-Nya
dan mematuhi hukuman-Nya hanyalah orang-orang yang mengetahui tentang kebesaran
dan kekuasaan Allah atas hal-hal apa saja yang Dia kehendaki, dan bahwa Dia
melakukan apa saja yang Dia kehendaki. Karena orang yang mengetahui hal itu,
dia yakin tentang hukuman Allah atas siapa pun yang bermaksiat kepada-Nya. Maka
dia merasa takut dan ngeri kepada Allah karena khawatir mendapat hukuman-Nya
tersebut.
Sehubungan
dengan ayat di atas, Rasulullah saw. bersabda:
عَنْ
عَائِشَةُ قَالَتْ: صَنَعَ النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم - شَيْئًا فَرَخَّصَ
فِيهِ فَتَنَزَّهَ عَنْهُ قَوْمٌ فَبَلَغَ ذَلِكَ النَّبِىَّ - صلى الله عليه وسلم
- فَخَطَبَ فَحَمِدَ اللَّهَ ثُمَّ قَالَ « مَا بَالُ أَقْوَامٍ يَتَنَزَّهُونَ
عَنِ الشَّىْءِ أَصْنَعُهُ ، فَوَاللَّهِ إِنِّى لأَعْلَمُهُمْ بِاللَّهِ
وَأَشَدُّهُمْ لَهُ خَشْيَةً.
رواه البخارى
“Rasulullah
saw. melakukan sesuatu lalu beliau memberi rukhsah (keringanan) mengenai sesuatu itu. Namun ada suatu kaum
yang menghindarinya. Ketika hal itu
didengar oleh Nabi saw. Lalu beliau pun berkhutbah. Beliau memuji Allah lalu
bersabda, ‘Kenapakah ada kaum yang menghindari sesuatu yang aku perbuat. Demi
Allah sesungguhnya aku adalah yang paling tahu tentang Allah dan paling takut
kepada-Nya di antara mereka.” (H. R. Al-Bukhari dan Muslim).
Ada dasar yang
diriwayatkan dari Ibnu Abbas dan Hasan Al-Basri. Menurut Ibn Abbas, “Orang yang
berilmu tentang Allah Yang Maha Pencipta di antara hamba-hamba-Nya ialah orang
yang tidak menyekutukan Dia dengan sesuatu pun, menghalalkan apa yang
dihalalkan Allah dan mengharamkan apa yang diharamkan-Nya, memelihara
wasiat-Nya dan yakin bahwa dia akan bertemu dengan-Nya dan memperhitungkan
amalnya.” Hasan Al-Basri berkata, “Orang yang berilmu ialah orang yang
takut kepada Allah Yang Maha Pengasih, sekalipun dia tidak mengetahui-Nya,
menyukai apa yang disukai oleh Allah dan menghindari apa yang dimurkai Allah.’
Kemudian Al-Basri membaca QS Fathir/35: 28.
Dari ayat,
hadis dan atsar di atas dapat dipahami dengan jelas bahwa ilmu pengetahuan itu
memudahkan orang menuju sorga. Hal itu mudah dipahami karena dengan ilmu,
seseorang mengetahui akidah yang benar, cara-cara beribadah dengan benar, dan
bentuk-bentuk akhlak yang mulia. Selain itu, orang berilmu mengetahui pula
hal-hal yang dapat merusak akidah tauhid, perkara-perkara yang merusak pahala
ibadah, dan memahami pula sifat dan akhlak-akhlak jelek yang perlu
dihindarinya. Semuanya itu akan membawanya ke sorga di akhirat, bahkan
kesejahteraan di dunia ini.
Yang dimaksud dengan dimudahkan Allah
baginya jalan menuju sorga adalah ilmunya itu akan
memberikan kemudahan kepadanya untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat
menyebabkannya masuk sorga. Karena ilmunya, seseorang itu mengetahui kewajiban
yang harus dikerjakannya dan larangan-larangan yang harus dijauhinya. Ia
memahami hal-hal yang dapat merusak akidah dan ibadahnya. Ilmu yang dimilikinya
membuat ia dapat membedakan yang halal dari yang haram. Dengan demikian,
orang yang memiliki ilmu pengetahuan itu tidak merasa kesulitan untuk
mengerjakan hal-hal yang dapat membawanya ke dalam sorga.
Malaikat menghamparkan sayapnya karena
senang kepada orang yang mencari ilmu. Malaikat telah mengetahui bahwa Allah
sangat mengutamakan ilmu. Hal itu terbukti ketika mereka disuruh hormat kepada
Adam setelah Adam menunjukkan kelebihan ilmunya kepada malaikat. Oleh sebab
itu, para malaikat merasa senang kepada orang-orang yang berilmu karena
mereka dimuliakan oleh Allah.
Orang yang menuntut ilmu dimintakan ampun
oleh makhluk-makhluk Allah yang lain. Ini merupakan ungkapan yang menunjukkan
kesenangan Rasulullah SAW. kepada para pencari ilmu. Ilmu itu sangat bermanfaat
bagi alam semesta, baik manusia maupun bukan manusia. Dengan ilmu pengetahuan
yang disertai iman, alam ini akan selalu terjaga dengan indah. Penjagaan dan
pengelolaan alam ini dapat dilakukan dengan ilmu pengetahuan. Jadi, orang yang
memiliki ilmu dan menggunakannya untuk kebaikan alam semesta merupakan orang
mulia yang pantas didoakan oleh penghuni alam ini.
Orang berilmu pengetahuan lebih utama
daripada ahli ibadah. Keutamaannya diumpamakan oleh Rasulullah SAW. bagaikan
kelebihan bulan pada malam purnama dari bintang. Keutamaan bulan malam purnama
yang jelas dari bintang-bintang adalah dalam hal fungsi menerangi. Bulan itu
bercahaya yang membuat dirinya terang dan dapat pula menerangi yang lain.
Sedangkan bintang kurang cahayanya dan itu hanya untuk dirinya sendiri. Sifat
seperti itu terdapat pula pada orang yang berilmu pengetahuan dan ahli ibadah.
Orang yang berilmu pengetahuan dapat menerangi dirinya sendiri dengan petunjuk
dan dapat pula menerangi orang lain dengan pengajarannya. Dengan kata lain,
orang 'alim itu memberikan manfaat untuk dirinya dan dapat pula
bermanfaat bagi orang lain.
Orang yang berilmu dikatakan sebagai
pewaris Nabi. Ini merupakan penghormatan yang sangat tinggi. Warisan Nabi itu
bukan harta dan fasilitas duniawi, melainkan ilmu. Mencari ilmu berarti
berusaha untuk mendapatkan warisan beliau. Berbeda dari warisan harta, untuk
mendapatkan warisan Nabi tidak dibatasi pada orang-orang tertentu. Siapa saja
yang berminat dapat mewarisinya. Bahkan, Rasulullah SAW. menganjurkan agar
umatnya mewarisi ilmu itu sebanyak-banyaknya.
Dari hadis di atas terlihat bahwa
Rasulullah SAW. mendidik umatnya untuk menjadi 'alîm, (jamaknya 'ulamâ')
dengan pendekatan fusngsional. Pendekatan ini
merupakan upaya memberikan materi pembelajaran dengan menekankan kepada segi
kemanfaatan bagi peserta didik dalam kehidupan sehari-hari. Pembelajaran dan
bimbingan untuk mendapatkan ilmu diharapkan berguna bagi kehidupan
seseorang, baik dalam kehidupan individu maupun dalam kehidupan sosial. Melalui
pendekatan fungsional ini berarti peserta didik dapat memanfaatkan ilmu dalam
kehidupan sehari-hari.
Analisis pemakalah
Mencari ilmu adalah suatu
aktivitas yang memiliki tantangan. Tantangan itu dapat berbentuk biaya, waktu,
kesehatan, kecerdasan dan lain sebagainya. Orang yang mampu menghadapi
tantangan itu adalah orang yang memiliki keikhlasan dan semangat rela
berkorban. Ada orang yang tidak sukses dalam menuntut ilmu karena tidak sabar
dalam berjuang menghadapi tantangan. Ketika menuntut ilmu, seseorang tidak
dapat mencari uang bahkan sebaliknya menghabiskan uang. Bagi orang yang tidak
memiliki tabungan uang, maka ia akan mengalami kesulitan untuk mencari ilmu
pengetahuan terutama pada jalur pendidikan formal. Demikian juga dengan
tantangan yang lain.
Bagi orang yang beriman, tantangan itu
tidak perlu menjadi hambatan. Sebab selain tantangan, ia juga memiliki motivasi
yang sangat besar. Orang-orang yang mencari ilmu dengan ikhlas akan dibantu
oleh Allah dan akan dimudahkan baginya jalan menuju sorga.
Analisis kependidikan
Dari hadis diatas,nabi mengajarkan kepada kita agar
didalam kehidupan ini apapun tujuan yang akan kita capai, kalau ditempuh
dengan jalan menuntut ilmu allah akan memudahkan jalan untuknya kesorga, baik
itu sorga dunia lebih-lebih lagi sorga ahirat.karena untuk mudah menjangkau
dunia dan isinya itu adalah harus melalui pendidikan, semakin tinggi jenjang
pendidikan seseorang maka dia akan semakin mudah untuk menjangkau dunia dan
isinya. Kemudian untuk mencapai ahirat dan ridho allah adalah dengan prestasi
ibadah. Beridah itu juga harus dengan ilmu. Imam safii juga pernah
berkata mencari ilmu itu lebih utama dari pada mengerjakan sunnah.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari penjelasan hadis yang telah pemakalah paparkan di atas
maka, secara umum dapat disimpulkan, bahwa agama islam merupakan agama yang
universal, yang tidak hanya mengajarkan kepada kita untuk sholat, puasa, baca
al-quran, tetapi islam juga mewajibkan kepada kita untuk berilmu pengetahuan
dan berteknologi.
B.
Saran
Dilihat dari isi kandungan hadits yang pemakalah bahas,
pemakalah mearasa bahwa pembahasan ini sangat bermanfaat bagi kita semua,
kususnya bagi kami sebagai pemakalah, sebab pemakalah yakin kalau kita
mempunyai sedikit banyaknya ilmu pengetahuan , maka seseorang itu akan sangat
mudah untuk mencapai hidup bahagia di dunia dan di ahirat.
DAFTAR PUSTAKA
Alghazali imam ihya ulumuddi. Bimbingan untuk mencapai
tingkat mukmin. Bandung:c.v. diponegoro
Djamari arifin zainal. Islam, aqidah dan syari,ah I.1996.Jakarta:
PT.Grafindo persada
Al-Darimiy, Sunan ad-Darimi, jilid 1, (Beirut: Dar
al-Fikr, t.th.), h. 252. Hadis dengan maksud yang sama juga diriwayatkan
Ad-Daruqutni dari Abi Sa’id. Lihat, Ali ibn Umar Abu al-Hasan ad-Daruquthni
al-Baghdadi (selanjutnya disebut Al-Daruqutni),
Sunan Al-Daruquthni, juz 9, (Beirut: Dar al-Makrifah, 1966
Sya’b al-Iman, Juz 2, Beirut:
Dar –Kutub al-‘Ilmiyah
Ahmad Musthafa Al-Maraghiy,
(selanjutnya disebut Al-Marâghi), Tafsir al-Maraghiy, Jilid 4, Juz 11,
t.tp.: Dar al-Fikr
Muhammad Rasyid Rida, Tafsîr
al-Qur'ân al-Hakîm al-Syahîr bi Tafsîr al-Manâr, Jilid 11,Beirut: Dar
al-Ma'rifah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar